Sabtu, 14 Mei 2011

Kecurangan CPNS dan Pemerintahan Bersih


Lembaga yang memerlukan PNS baru itu mulai pemerintah kabupaten/kota, pemprov, hingga instansi pusat. Seperti yang sudah-sudah, lowongan CPNS selalu memiliki magnet sangat kuat bagi masyarakat untuk berbondong-bondong berebut posisi yang tersedia. Selain status sosial, para pendaftar berebut gaji bulanan plus uang pensiun setelah purnatugas kelak. Atau, mungkin juga ada yang berniat mengabdi kepada negara, sesuai dengan motto pegawai RI ”abdi negara”.

Karena begitu besarnya minat masyarakat menjadi PNS, tak sedikit pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Para calo pun bergentayangan dengan mengaku memiliki kekuatan memasukkan orang menjadi CPNS. Tak sedikit pula oknum pejabat yang melakukan hal sama meski dengan modus berbeda.

Bagaimana pejabat menjadi ”calo” CPNS? Praktik ini sudah sering dilaporkan para pencari status PNS. Intinya, di beberapa daerah, lowongan CPNS sudah menjadi semacam proyek yang siap dilelang dan mencari penawar tertinggi sebagai pemenangnya. Modusnya bermacam-macam. Mulai yang terang-terangan hingga yang tersamar. Tapi, ujungnya-ujungnya satu: mereka ingin mendapat uang dari momen tersebut.

Pada penerimaan CPNS 2010, indikasi kecurangan terjadi di beberapa daerah di Sumbar. Seperti di Solok Selatan, Mentawai, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, dan Padangpariaman, yang menggunakan jasa penyelenggara seleksi dari Universitas Indonesia. Modusnya, nama peserta ujian yang akan mengikuti ujian tahap II, tidak mengikuti ujian pada tahap I. Bahkan di Solsel, meski peserta ujian telah didiskualifikasi karena ketahuan menggunakan jasa joki, ternyata tetap lulus ujian tahap pertama.

Setiap tahun, selalu saja tercium adanya indikasi kecurangan dalam penerimaan CPNS di Sumbar. Terlebih sejak penerimaannya diserahkan ke daerah tiga tahun terakhir. Aroma tidak sedap itu terendus mulai dari penyusunan formasi CPNS di setiap daerah. Tidak ada kajian mendalam tentang kebutuhan riil PNS di setiap daerah. Jumlah dan formasi yang diajukan, justru terkesan berupa daftar keinginan para petinggi daerah masing-masing.  

Peluang penerimaan CPNS yang dibuka setiap tahun itu, betul-betul dimanfaatkan pemerintah daerah sebagai cara cepat untuk mengurangi pengangguran. Padahal, struktur dan jumlah birokrasi hampir di setiap daerah di Sumbar, telah mengalami obesitas. Jumlah mereka yang bekerja serius dan efektif lebih sedikit daripada yang sekadar membaca koran di kantor-kantor. Tambunnya birokrasi di Sumbar itu, telah membebani anggaran negara.    

Alhasil, belanja pegawai di seluruh daerah jauh lebih besar ketimbang belanja publik setiap tahun. Uang rakyat yang sejatinya bisa digunakan sebesar-besarnya untuk pembangunan, justru tersedot untuk membiayai segelintir pegawai negeri dan anggota DPRD berkinerja rendah. Di lingkungan Pemprov Sumbar saja, rakyat harus menanggung gaji 70 persen PNS yang tak berkualitas, seperti dilansir Gubernur Sumbar Irwan Prayitno.   

Kondisi seperti itu tentu tak bisa dibiarkan terus terjadi. Karena itu, sampai ada pemikiran mundur: pemerintah pusat sebaiknya mengambil kembali kewenangan rekrutmen CPNS, seperti sebelum era otonomi daerah. Kebutuhan pegawai tetap diajukan oleh pemerintah daerah, tapi seleksi dan penentuan soal diterima dan tidaknya dipegang pemerintah pusat. Toh, saat ini, penggajian pegawai juga tetap mengandalkan APBN. Sepanjang penerimaan CPNS sarat dengan kecurangan, cita-cita mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih hanya menjadi impian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar